Minggu, 15 Februari 2009

SURAKARTA


Kota Surakarta (juga Solo, Sala, dan [tidak dipakai lagi] Salakarta) adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Di Indonesia, Surakarta merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta). Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota ini dulu juga tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Jabatan residen sekarang dihapuskan dan diganti menjadi "pembantu gubernur untuk wilayah Surakarta". Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun citra kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.


Geografi

Kota Solo terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah (hampir 100m di atas permukaan laut) yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo.

Tanah di Solo bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik kedua gunung api yang telah disebutkan di atas. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.

Batas-batas administrasi

Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.

Sejarah Kota Surakarta

Masa awal dan pra-Republik

Kota Surakarta didirikan pada tahun 1745, ditandai dengan dimulai pembangunan Keraton Mataram sebagai ganti keraton di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Pakubuwono (PB) II yang bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pemberontakan ini bahkan mengakibatkan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur.

Dengan bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu kota Kesultanan Mataram yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Kelak namanya berubah menjadi Surakarta. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[1]). Pembangunan kraton baru ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.

Lambang Kasunanan Surakarta


Lambang Praja Mangkunagaran

Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.

Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949

Situasi di Solo (dan wilayah pengaruhnya) pada masa ini sangat menyedihkan. Terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Solo kehilangan hak otonominya; nasib yang berbeda dengan Yogyakarta.

D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka

Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[rujukan?]

Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan komunis.[rujukan?]

Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.

Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.

Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[2]

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.

Serangan Umum 7 Agustus 1949

Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.

Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.

Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet Riyadi".

Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.

Kependudukan

Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2003 adalah 552.542 jiwa terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, tersebar di lima kecamatan yang meliputi 51 kelurahan. Perbandingan kelaminnya 96,06% yang berarti setiap 100 orang wanita terdapat 96 orang laki-laki. Angka ketergantungan penduduknya sebesar 66%. Jumlah penduduk tahun 2003 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk hasil sensus tahun 2000 yang sebesar 488.834 jiwa, berarti dalam 3 tahun mengalami kenaikan sebanyak 83.708 jiwa.[rujukan?] Catatan dari tahun 1880 [3] memberikan cacah penduduk 124.041 jiwa.

Jika wilayah penyangga Surakarta juga digabungkan secara keseluruhan (Soloraya - Surakarta + Kartasura, Colomadu, Baki, Grogol, Palur), maka luasnya adalah 130 km². Penduduknya berjumlah 850.000 jiwa.[rujukan?]

Pembagian Administratif
Balai kota Surakarta

Surakarta dibagi menjadi lima kecamatan. Setiap kecamatan dibagi menjadi kelurahan, lalu setiap kelurahan dibagi menjadi kampung-kampung yang kurang lebih setara dengan Rukun Warga.

Kecamatan di Surakarta:

* Kecamatan Banjarsari
* Kecamatan Jebres
* Kecamatan Lawiyan (disebut juga Laweyan)
* Kecamatan Pasar Kliwon
* Kecamatan Serengan

Solo Baru
Bagian ini membutuhkan pengembangan

Solo Baru merupakan kawasan yang dimekarkan dari kota Solo.

Transportasi

Kota Surakarta terletak di pertemuan antara jalur selatan Jawa dan jalur Semarang-Madiun, yang menjadikan posisinya yang strategis sebagai kota transit. Jalur kereta api dari jalur utara dan jalur selatan Jawa juga terhubung di kota ini.

Angkutan darat

Terminal bus besar kota ini bernama Tirtonadi yang beroperasi 24 jam karena merupakan jalur antara yang menghubungkan angkutan bus dari Jawa Timur (terutama Surabaya dan Banyuwangi) dan Jawa Barat (Bandung).

Stasiun kereta api utama bernama Stasiun Solo Balapan yang merupakan stasiun untuk pemberangkatan kereta api kelas Bisnis dan Eksekutif dan terletak berdekatan dengan terminal bus Tirtonadi, suatu hal yang jarang dijumpai di Indonesia. Hubungan perjalanan dari setasiun ini cukup baik, mencakup semua kota besar di Jawa secara langsung dan hampir dalam semua kelas. Di Kota Surakarta juga terdapat tiga setasiun kereta api lain yang lebih kecil, yang salah satunya (Stasiun Solo Kota) dihubungkan dengan rel yang berada tepat sejajar di tepi jalan, satu-satunya yang masih difungsikan di Indonesia. Dua stasiun lainnya adalah Stasiun Purwosari dan Stasiun Palur, kedua stasiun ini melayani penumpang kereta api kelas ekonomi.

Angkutan udara

Surakarta memiliki bandar udara internasional Adisumarmo (dulu bernama "Panasan", sebenarnya terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Karanganyar dan Boyolali tapi letak bandara terletak di kabupaten boyolali) yang terhubung ke Jakarta,Kuala Lumpur dan Singapura. Waktu tempuh perjalanan udara dengan Jakarta berlangsung kurang lebih 50 menit. Beberapa operator penerbangan yang melayani rute dari/ke kota Solo antara lain Garuda Indonesia, Lion Air, Adam Air, Sriwijaya Air, Indonesia Air Asia, Mandala Air, Air Asia, Silk Air, dll. Bandar udara ini juga menjadi pusat pemberangkatan dan penerimaan haji dari Asrama Haji Donohudan Boyolali Indonesia.

Angkutan kota

Angkutan umum dalam kota mencakup bus kota, angkot, taksi, becak, dan andong.

Arsitektur dan peninggalan sejarah
Keraton Surakarta

Sebagai kota yang sudah berusia hampir 250 tahun, Surakarta memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.

Kraton Kasunanan Surakarta tentu saja adalah bangunan paling pokok dalam konsep penataan ruang Solo. Perencanaan kraton ini mirip dengan konsep yang digunakan dalam pembangunan Kraton Kesultanan Yogyakarta.

Solo merupakan salah satu kota pertama di Indonesia yang dibangun dengan konsep tata kota modern. Kraton yang dibangun berdekatan dengan Bengawan Solo selalu terancam banjir. Karena itu dibangunlah tanggul yang hingga kini masih dapat dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug hingga kawasan Solo Baru.

Boulevard yang memanjang lurus dari arah barat laut menuju ke depan alun-alun istana (sekarang Jalan Slamet Riyadi) dirancang untuk mengarahkan pandangan ke arah Gunung Merbabu.

Terdapat pula pengelompokan pemukiman untuk warga pendatang. Kawasan Pasar Gede (Pasar Gedhe Hardjonagoro) dan Pasar Balong merupakan tempat perkampungan orang Tionghoa, sementara kawasan pemukiman orang Arab (kebanyakan dari Hadramaut) terletak di kawasan Pasar Kliwon.

Pedagang batik Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak mendirikan usaha dan tempat tinggal di kawasan Laweyan (sekarang mencakup Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke). Di kawasan ini juga didirikan pertama kali organisasi bercorak Islam-nasional yang pertama di Indonesia oleh Haji Samanhudi, Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905.[4] Bekas kejayaan para pedagang batik pribumi tempo doeloe ini bisa dilihat dari sejumlah rumah mewah di Jalan Dr. Rajiman. Di kawasan ini, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik namun terlindungi oleh pagar-pagar yang tinggi dengan gerbang ("regol") yang besar.

Di dalam kompleks kraton terdapat perkampungan Kauman yang dulunya merupakan kompleks tempat tinggal para kaum ulama kerajaan dan kerabatnya. Kompleks ini terletak di belakang (barat) Masjid Agung keraton. Beberapa nama kampung di kawasan ini masih menunjukkan jejak tersebut, seperti Pengulon (dari kata "penghulu"), Trayeman, Sememen, Kinongan, Modinan, serta Gontoran. Perkampungan ini dipenuhi beragam arsitektur rumah gedung dengan ornamen hiasan dan model rumah gaya campuran Eropa-Jawa-Tiongkok. Awalnya, Kampung Kauman yang berada di sisi barat depan Keraton Kasunanan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal (kaum) ulama kerajaan dan kerabatnya.

Kawasan Solo utara, yang ditata oleh pihak Mangkunagaran, juga memiliki jejak arsitektur yang banyak mendapat sentuhan Eropa. Bagian utara kota Solo dilewati oleh Kali Pepe, yang seperti Bengawan Solo juga berkali-kali menimbulkan bencana banjir. Pembangunan tanggul kali dan pintu air, saluran drainasi, MCK (mandi-cuci-kakus, yang pertama kali diterapkan), serta penempatan kantor kelurahan yang selalu berada pada perempatan jalan, merupakan beberapa jejak yang masih dapat dilihat sekarang, yang pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Mangkunagara IV.

Benteng Vastenburg

Di kota Surakarta terdapat pula bekas peninggalan kolonial Belanda yaitu Benteng Vastenburg yang dulu digunakan sebagai pusat pengawasan kolonial Belanda untuk mengawasi gerak-gerik Keraton Kasunanan, namun sekarang keadaannya tidak terurus, di pusat kota Surakarta di dekat (sejalan dengan) Balaikota Surakarta. Dulu bangunan ini bernama "Grootmoedigheid" dan didirikan oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan rumah Gubernur Belanda. Benteng dikelilingi oleh kompleks bangunan lain yang berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal perwira dan asrama perwira. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Setelah kemerdekaan pernah berfungsi sebagai kawasan militer dan asrama bagi Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya / Kostrad. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya.[5]

Gedung Brigade Infanteri

Gedung Brigade Infanteri merupakan bangunan yang dibangun untuk melengkapi kompleks benteng pertahanan Vastenburg.

Kantor Kodim

Dulunya terletak di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, bangunan ini berkaitan erat dengan Loji Gandrung sebagai rumah komandan pasukan Belanda dan Benteng Vastenburg sebagai pusat pertahanan tentara Belanda di wilayah Surakarta. Sejak beberapa tahun terakhir, kantor Kodim yang baru berada di Jalan Ahmad Yani, sementara kantor yang lama dikembalikan ke pemilik. Setiawan Jodi pernah memiliki kantor kodim ini.

Pasar Gedhe Hardjonagoro

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pasar Gede Harjonagoro

Pasar Gede Hardjonagoro

Pada jaman kolonial Belanda, Pasar Gedhe merupakan sebuah pasar "kecil" yang didirikan di area seluas 10.421 meter persegi, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang digunakan sebagai Balaikota Surakarta. Bangunan ini di desain oleh arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten yang selesai pembangunannya pada tahun 1930 dan diberi nama Pasar Gede Hardjanagara. Diberi nama Pasar Gedhe karena terdiri dari atap yang besar (Gedhe artinya besar dalam bahasa Jawa). Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta.

Awalnya pemungutan pajak (retribusi) dilakukan oleh abdi dalem Kraton Surakarta. Mereka mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar dan panjang dari bahan batik dipakai dari pinggang ke bawah), beskap (semacam kemeja), dan blangkon (topi tradisional). Pungutan pajak kemudian akan diberikan ke Keraton Kasunanan.

Pasar Gedhe terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang bertuliskan 'PASAR GEDHE.

Arsitektur Pasar Gedhe merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya tradisional. Pada tahun 1947, Pasar Gedhe mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian merenovasi kembali pada tahun 1949. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.[6]

Pasar Klewer
Bagian ini membutuhkan pengembangan
Gapura Kraton dan Pasar Klewer (tampak belakang)

Pasar Klewer merupakan salah satu pasar batik terbesar di Indonesia. Pasar ini terletak di dekat Keraton Kasunanan dan di seberang Masjid Agung Surakarta

Rumah Sakit Kadipolo

Rumah Sakit Kadipolo terletak di jalan Dr. Radjiman dengan luas lahan sekitar 2,5 Ha. Rumah sakit ini didirikan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X.

Pada mulanya bangunan ini dibangun khusus untuk poliklinik para abdi dalem kraton. Karena masalah biaya, pada tahun 1948 pengolahannya diserahkan kepada Pemda Surakarta disatukan dengan pengolahan Rumah Sakit Mangkubumen dan Rumah Sakit Jebres. Namun dengan syarat bahwa keluarga kraton dan pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan. Tahun 1960 pihak keraton menyerahkan Rumah Sakit Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan berikut seluruh pegawai dan perawatnya kepada Pemda Surakarta.

Tanggal 1 Juli 1960 mulai dirintis penggabungan Rumah Sakit Kadipolo dengan Rumah Sakit Jebres dan Rumah Sakit Mangkubumen di bawah satu direktur yaitu dr. Sutedjo. Kemudian masing-masing rumah sakit mengadakan spesialisasi, RS. Jebres untuk anak-anak, RS. Kadipolo untuk penyakit dalam dan kandungan serta RS. Mangkubumen untuk korban kecelakaan.

1 Agustus 1976 diadakan pemindahan pasien dari RS. Kadipolo ke RS. Mangkubumen sebagai persiapan berdirinya SPK (Sekolah Pendidikan Keperawatan). Pemindahan pasien selesai sampai awal April 1977.

24 April 1977 SPK resmi berdiri dengan menempati bangunan RS. Kadipolo.

Kampus SPK hanya bertahan 5 tahun karena Februari 1982 Depkes Pusat memerintahkan untuk mengosongkan RS. Kadipolo untuk dipindah ke kawasan Mojosongo.

Sejak tahun 1985 bangunan tersebut menjadi milik klub sepak bola Arseto sebagi tempat tingal dan mess bagi para pemain Arseto Solo. Namun kini sebagian besar bangunan dibiarkan kosong tak terawat.[7]

Dalem Poerwadiningratan

Dalem Purwodiningratan terletak di lingkungan dalam Keratonan, Baluwarti dan merupakan bangunan dalem yang terluas, terbesar dengan pagar tertinggi di lingkungan itu (90m x 100m atau sekitar 1 Ha).

Bangunan ini dibuat oleh Sunan Paku Buwono IV bersamaan dengan dibangunnya Dalem Suryohamijayan dan Dalem Sasonomulyo. Ketika Dalem Poerwadiningratan selesai dibangun, Sinuhun PB IV berkenan untuk mengadakan Lenggah Sinoko (sidang pemerintahan dihadapan para menteri) di bangunan tersebut.

Dalem ini kemudian diserahkan kepada Kanjeng Ratu Pembayun yang dinikahi oleh KGPH Mangkubumi II, kemudian diwariskan kepada KPH Riyo Atmodjo. Putra beliau yang mendapatkan hak waris atas dalem adalah Kanjeng Raden Mas Haryo Purwodiningrat Sepuh dan kemudian pada putranya lagi Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Purwodiningrat.

Demikian hingga kawasan ini bernama Poerwadiningratan. (Menurut aturan Jawa, Dalem diberi nama sesuai dengan pemilik terakhir bangunan). Sampai sekarang Dalem Poerwodiningratan dimiliki oleh segenap keluarga keturunan Poerwadiningrat.

Rumah Jawa merupakan pencerminan diri pemilik-nya oleh karena itu seringkali pamor rumah Jawa akan berangsur-angsur turun atau hilang setelah pemiliknya meninggal dunia.

Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Poerwodiningrat adalah seorang Bupati Keraton Kasunanan Surakarta yang pernah menjabat sebagai penguasa Sriwedari. Seorang dengan wibawa besar yang tercermin dari dalem yang dimilikinya.

Pengaruh ini dirasakan menurun ketika beliau wafat (sesuai peribahasa Jawa Yen ditinggal Ibu ora kopen ning yen ditinggal Bapak ora kajen). Ini tercermin dari kebiasaan-kebiasaan penghormatan terhadap bangunan yang telah berubah. Misalnya kendaraan yang berlalu-lalang disekitar pendopo atau masuk pendopo tanpa melepas alas kaki.

Pada jaman KRTH Poerwodiningrat, pendatang yang masuk ke lingkungan dalem berjalan kaki bahkan berjalan jongkok di pendopo untuk menghormat. Halaman pendopo ditutup pasir untuk area duduk para abdi dalem yang sowan, dan ada tempat penyimpanan payung-payung untuk para tamu.

Seiring dengan berfungsinya bangunan sebagai kantor Departemen Pertanian dan Kehakiman (1947) kebiasaan ini mulai ditiadakan. Dalem Poerwodiningratan juga pernah digunakan sebagai SMP, SMA, SGA dari Yayasan Pendidikan Tjokroaminoto (sekitar tahun 1950–1960).

Poerwodiningratan juga mempunyai urutan ruang seperti halnya bangunan tradisional Jawa dengan paviliun di sekelilingnya. Paviliun kini ditinggali oleh keluarga Poerwadiningrat.

Dengan dasar (warah/petuah) filosofi dari Sunan Paku Buwono X bahwa "Budoyo Jowo iku ora bedo karo pusoko kadatone, lamun dipepetri bakal hamberkahi nanging lamun siniosio bakal tuwuh haladipun" yang kurang lebih berarti budaya Jawa itu sama dengan pusaka keraton jika dihormati akan memberi berkah, namun jika disia-sia akan memberi hukuman. Untuk itu setiap malam Jumat dalem pringgitan diberi sesajian dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Demikian pula pada tanggal 1 bulan Jawa dan setiap tahun pada bulan Sapar untuk memperingati berdirinya bangunan tersebut.

Layaknya bangunan kuno di Jawa, pada bangunan ini sering terjadi hal-hal aneh yang bersifat mistik terutama bila sesajian lupa disajikan di dalam pendopo.

Masjid Agoeng Soerakarta

Masjid Agung Surakarta pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.

Masjid Agung dibangun oleh Sunan Paku Buwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Masjid ini merupakan masjid dengan katagori Masjid Jami, yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jumat. Dengan status Masjid Negara/Kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan.

Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.

Masjid Agung terdiri dari

* Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
* Ruang Sholat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dengan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu Sholat Jumat.
* Pawestren, (tempat sholat untuk wanita) dan Balai Musyawarah,
* Tempat berwudhu
* Pagar Keliling, dibangun pada masa Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858.
* Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad S.A.W.)
* Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Sholat Jumat dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
* Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono X (1914) dan menjadi milik kraton.
* Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928.
* Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu shollat.
* Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.

[sunting] Masjid Mangkoenegaran

Pendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I di Kadipaten Mangkunagaran sebagai masjid Lambang Panotogomo.

Sebelumnya terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.

Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunagaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunagaran.

Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada saat pemerintahan Adipati Mangkunagara VII, pada saat itu Mangkunagara VII meminta seorang arsitek dari Prancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini.

Luas kompleks masjid sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung.

Masjid Mangkunagaran terdiri dari:

* Serambi: merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur Raden Mas Said (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di serambi terdapat bedug yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara.
* Maligin: dibangun atas prakarsa Adipati Mangkunagara V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum.
* Ruang Sholat Utama: merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Alquran.
* Pawasteren: merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat khusus wanita.
* Menara: dibangun tahun 1926 pada masa Mangkunagara VII. Digunakan untuk menyuarakan adzan, pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.

Saat ini Masjid Mangkunagaran bernama Al-Wustho, diberi nama demikian pada tahun 1949 oleh Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi. Masjid Mangkunagaran merupakan masjid yang cukup unik karena di sini dapat dilihat hiasan kaligrafi Alquran di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko dan Maligin.

Masjid Lawejan

Masjid Laweyan dibangun pada masa Djoko Tingkir sekitar tahun 1546. Merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang.

Awalnya merupakan pura agama Hindu dengan seorang biksu sebagai pemimpin. Namun dengan pendekatan secara damai, seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi Masjid.

Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan (beluk = asap).

Pemilik masjid ini adalah Kyai Ageng Henis (kakek dari Susuhunan Paku Buwono II). Seperti layaknya sebuah masjid, Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk nikah, talak, rujuk, musyawarah, dan makam.

Kompleks masjid menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta.

Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.

Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu diantaranya adalah:

* Kyai Ageng Henis
* Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
* Permaisuri Paku Buwono V
* Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II-Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta.
* Nyai Ageng Pati
* Nyai Pandanaran
* Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX.
* Dalang Keraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di Laut Selatan.
* Kyai Ageng Proboyekso, yang menurut legenda merupakan jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.

Di makam ini terdapat tumbuhan langka Pohon Nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Betari Durga. Makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura.

c-law-prasasti1.JPG (26746 bytes)

Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh PB X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.

Parmadi Poetri

Berdiri Januari 1927 atas prakarsa pemerintahan Kasunanan dengan nama HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Pamardi Putri. Semula digunakan untuk putri kerabat dekat kasunanan. Sebuah bangunan yang berfungsi sama namun digunakan untuk lelaki bernama Gedung Ksatriyan.

Gedung Pengadilan Tinggi Agama

Awalnya bangunan ini dipergunakan untuk rumah tinggal. Sejak tahun 1938 digunakan sebagai Kantor Departemen Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Ornamen bangunan ini bergaya Arab-Kolonial, terlihat dari penggunaan kubah lengkung yang dihiasi kaca dan berbagai ukiran kaligrafi. Bangunan ini terletak di jalan Slamet Riyadi Surakarta.

Gedung Veteran

Dikenal juga dengan sebutan Gedung Lowo. Awalnya bangunan ini digunakan sebagai rumah tinggal bangsawan/pejabat Belanda. Tahun 1945 gedung ini dihuni oleh keluarga Djian Ho. Gedung ini terletak di jalan Slamet Riyadi dengan bentuk khas arsitektur kolonial untuk sebuah bangunan rumah tinggal.

Setelah merdeka gedung ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan digunakan sebagai Gedung Veteran. Pemugaran besar yang berarti tanpa merubah bentuk asli bangunan pernah dilakukan pada tahun 1983-1985.

Kantor Pertani

Berdiri tahun 1908 sebagai bangunan rumah tinggal seorang bangsawan Tionghoa yang dekat dengan kerabat Keraton. Pernah digunakan sebagai tempat usaha batik oleh pedagang Lawiyan. Tahun 1978 dialihfungsikan sebagai kantor PT. Pertani yang melayani bidang administrasi perkantoran. Mempunyai banyak kesamaan detail arsitektur dengan Gedung Veteran, Loji Gandrung dan Bekas Kantor DPU.

Bank Indonesia

Dulu bernama Javasche Bank. Merupakan kantor cabang karya arsitek Hulswit, Fermont dan Ed. Cuipers dengan standart gaya neoklasik. Sekelompok pemuda pernah menggunakan gedung ini untuk menculik PM Syahrir pada masa revolusi.

Geredja Katholik Antonius

Gereja Katolik Santo Antonius Surakarta merupakan gereja tertua di Surakarta yang didirikan tahun 1905. Memiliki skala bangunan yang besar, bangunan ini belum pernah berubah bentuk dan fungsinya hingga hari ini.

Broederan Poerbayan

Bruderan Purbayan merupakan tempat pendidikan sekaligus asrama bagi para Bruder. Didirikan pada jaman penjajahan Belanda tahun 1921/1922.

Tempat Ibadah Tri Dharma Tien Kok Sie
Muka Depan Klenteng Tien Kok Sie

Klenteng yang terletak di Jalan R.E Martadinata no.12 ini sudah berdiri semenjak 263 (2008) tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1745. Vihara Avalokitheswara merupakan tempat ibadah umat Tri Dharma ( Confucianisme, Buddhisme, dan Taoisme ). Sangat dipengaruhi oleh arsitektur Tiongkok.

Vihara Am Po Kian

Vihara Am Po Kian didirikan tanggal 24 Agustus 1875 dan mengalami perbaikan pada tanggal 14 Agustus 1944. Dulu merupakan bangunan kuil milik seorang biksu dengan adu ilmu akhirnya bangunan ini dapat dikuasai oleh Kyai Ageng Henis (Kakek dari Raja-raja Mataram) dan diubah fungsikan menjadi masjid.

Di dalam kawasan ini pula Kyai Ageng Henis beserta keluarganya dimakamkan. Pada halaman tengah makam terdapat pendapa tempat menikahkan raja pada masa kerajaan Kartasura. Saat ini tempat tersebut digunakan sebagai tempat persiapan ziarah/istirahat.

Budaya

Bahasa

Bahasa daerah yang digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa dialek Surakarta. Dialek ini berbeda sedikit dengan dialek-dialek Jawa yang digunakan di kota-kota lain seperti di Semarang maupun Surabaya. Perbedaannya berupa kosakata yang digunakan, ngoko(kasar)-krama(halus)nya, dan intonasinya. Bahasa Jawa dari Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname).

Makanan

Beberapa makanan khas Surakarta antara lain: Nasi liwet, nasi timlo, nasi gudeg (juga diklaim oleh Yogyakarta), serabi Notosuman, intip, bakpia Balong, roti mandarin toko kue Orion, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar